novel Catatan Hati Seorang Isteri

Catatan Hati Seorang Isteri

Malamnya Arief mengajak saya makan di luar. Sudah cukup lama kami tidak berdua, karena kebersamaan rasanya hanya lengkap jika ada anak-anak.

Saya perhatikan Arief memandang saya lama sekali.
Lalu mencium tangan saya dan menangis. Berulang kali saya tanya kenapa Arief menangis, tapi Arief tak bisa menjelaskan. Baru setelah reda dia sanggup berkata-kata,

“Arief sudah menyia-nyiakan cinta Amini. Arief minta maaf.”

Saya terpukul, otak saya menarik benang merah dari sosok gadis di video itu.

“Arief sudah menikah dengan dia?” pertanyaan itu reflek saja meluncur dari mulut saya.

Suami dengan cepat menggeleng.

“Sejauh apa?”
“Jangan dibayangkan yang tidak-tidak, Amini.”
Jawaban Arief dengan cepat meneduhkan saya.

Bagaimana pun Arief lelaki baik, suami dan ayah yang baik.

Soal salah saya kira semua manusia pasti melakukan kesalahan, tidak ada yang sempurna.

Malam itu seperti jadi babak baru dalam kehidupan rumah tangga, yang pada akhirnya malah menambah kemesraan hubungan saya dan Arief.
Setelah dua bulan
Saya hampir yakin semuanya baik-baik saja, hingga suatu malam menjelang sahur di bulan puasa, saya terbangun oleh dering SMS masuk. Setelah saya cari, ternyata berasal dari hp suami. Saya pikir urusan biasa saja, hingga tanpa ragu saya membuka. Membaca isinya yang ternyata berasal dari kakak si gadis, saya sungguh terperanjat. Kasar sekali. Banyak caci maki di dalam SMS
itu. Intinya mengancam suami saya yang dituduh tidak bertanggung jawab.

Ada kata-kata… Ibu akan melabrak ke rumah dan membuat malu, atau kalau perlu membantai anak-anak elo!

Saya benar-benar terpukul. Jika yang mereka tuduhkan benar, berarti hubungan Arief memang sudah jauh, hingga mereka menuntut Arief untuk bertanggung jawab.

Saya coba berpikir tenang. Saya tidak ingin terbawa emosi dan akhirnya terdorong untuk mengambil tindakan impulsif, yang pada akhirnya malah membuat situasi semakin runyam.

Jujur saya tidak menyangka, si kakak yang selama ini tampak ramah dan ‘terdidik’ bisa melontarkan kalimat-kalimat sedemikian kasar. Mereka mengancam juga akan mendatangi dan membuat anak-anak malu di sekolah!

Tentu saja saya sedih dan marah dengan ketidakjujuran Arief. Jika diturutkan mau rasanya saya meluapkan amarah dan membangunkan dia saat itu juga. Saya juga jadi tidak yakin apakah dengan ketidakjujuran ini, saya masih bisa memaafkan Arief?

Bahkan terlintas untuk meminta cerai, karena bagi saya kejujuran itu penting artinya.

Keinginan untuk melindungi anak-anak yang membuat saya kemudian memutuskan untuk mengirim SMS ke si akak perempuan yang sudah memaki-maki Arief. Intinya satu, saya tidak ingin mereka merasa memanfaatkan ketidaktahuan saya terhadap hubungan terlarang itu, dan mengancam Arief.

Detik berikutnya saya sudah menyusun kata-kata dan membalas SMS si kakak langsung melalui hp saya. Sama sekali bukan SMS kasar atau penuh kemarahan. Saya hanya meminta mereka untuk jernih melihat persoalan, bahwa keduanya (suami dan perempuan itu) punya andil dalam affair ini. Dan tidak adil menimpakan kesalahan hanya kepada satu pihak. Tidak berapa lama SMS saya berbalas.

Intinya menurut perempuan itu saya tidak pantas menerima perlakuan Arief. Dan bahwa ini bukan kesalahan pertama atau kedua Arief. Saya saja yang menurutnya tidak tahu.
Jika pergi berduaan ke hotel, aktivitas apa yang biasanya mereka lakukan ? Silahkan cek kembali.

Saya menggigit bibir. Menahan perih di dada dan mencoba tetap tenang ketika merespon.

Saya sudah tahu apa yang saya perlu tahu. Arief sudah menceritakan segalanya pada saya. Jika kamu ingin membuat saya sakit hati dan terluka, saya sudah lama ter luka. Tapi saya sudah memaafkan Arief dan Dian, untuk semua pengkhianatan mereka pada saya.

Tahu? Sebenarnya apa yang saya tahu?

Tentu saja tidak banyak. Saya juga tidak tahu kalau ternyata mereka masih berhubungan sebab gadis itu mengancam bunuh diri jika ditinggalkan!

Sekarang apa yang bisa dilakukan?

Saya tidak tahu apakah orang-orang akan percaya atau tidak, jika saya katakan saya sungguh bersimpati kepada Dian, gadis itu. Memahami rasa kehilangannya. Tapi ada satu sisi di hati saya yang ingin memercayai bahwa Arief bersungguh-sungguh ketika meminta saya memaafkannya.

Sampai di sini, saya bangunkan Arief. Saya tunjukkan SMS-SMS itu kepadanya. Saya minta dia berterus terang jika dia mencintai gadis itu, jika dia ingin meninggalkan saya dan anak-anak, saya katakan tidak akan mencegahnya.

Saya hanya ingin dia memilih, dia yang mengambil keputusan.
Lelaki itu menggeleng. Memeluk saya dan meminta-minta maaf.
Saya tanyakan sekali lagi, apa dia yakin itu yang menjadi keputusannya, untuk kembali kepada keluarga.Saya lihat Arief mengangguk, matanya tampak sungguh-sungguh, meski sebenarnya saya sulit memercayainya lagi.

Dengan jawaban dari Arief, baru saya membalas SMS.
Saya katakan, jika memang orang sudah berbuat salah, apa yang harus kita lakukan? Apakah menjerumuskannya lebih jauh kepada dosa, atau memaafkannya? Sekarang adalah tugas bersama untuk menjaga pihak masing-masing. Saya menjaga
Arief dan keluarga mereka memberikan pondasi yang lebih kuat hingga Dian bisa bertawakal kepada Allah.
Tapi SMS berikut yang saya terima masih bernada kemarahan.

Mungkin benar kak, keluarga nggak ngasih pondasi yang kuat sampai adik saya berani bunuh diri (apalagi karakter orang beda, kakak imannya kuat, dia nggak…) tapi berarti ibunya Arief juga mungkin salah pondasi sampai menghasilkan anak yang men dorong orang bunuh diri.

Lebih kasihan lagi ibunya Arief udah tahu anaknya bejat lempang aja tuch!

Saya mencoba memahami kemarahan si kakak, dan keluarga besar mereka. Saya tahu Arief salah. Tetapi kesalahan seperti ini hanya mungkin terjadi ketika perempuan memberikan peluang.

Keluarga kita nggak pernah ingin Dian kawin sama Arief, amit2!! Juga nggak ingin kk cerai dari Arief. Itu urusan kalian. Urusan kita harga diri keluarga. Kk, ngerti masalahnya nggak? Ini urusan nyawa. Kalau Dian nggak sampe bunuh diri, saya nggak peduli. Coba bayangkan yang bunuh diri adik kakak, gimana? Di luar salah siapa tapi ada yang terluka seperti ini. Masalahnya nggak sesederhana itu.

Ini bukan sekadar affair biasa.
Ahh, luka.
Siapakah yang paling terluka?

Hubungan suami saya dan Dian baru berkisar hitungan bulan. Belum lagi mencapai tahun. Lantas bagaimana dengan saya? Tujuh belas tahun pernikahan, dengan tiga orang anak di belakang saya.

Tidakkah saya juga terluka, lebih terluka?
Menoleh ke belakang
Setelah kejadian itu, yang kemudian terdengar ke pihak keluarga kami entah bagaimana, saya menerima support yang luar biasa dari pihak keluarga. Macam-macam bentuknya. Dari mendukung meneruskan perkawinan, hingga meyakinkan saya untuk meminta cerai.

Terus terang pemikiran cerai ini memang menghinggapi saya. Sebab saya kehilangan kepercayaan kepada suami, dan tidak tahu apakah tahun demi tahun yang berlalu bisa memberikan penawar. Tapi biarlah semua berjalan mengalir dulu seperti seharusnya.